TUGAS KONSEP
DASAR KEPERAWATAN I
Disusun
oleh :
NAMA : M. ARIF SAPUTRA
NIM : 120101074
DOSEN
PENGAMPU : Ns. Novia Sartika, S.Kep
PROGRAM STUDI ILMU
KEPERAWATAN
STIKES AL-INSYIRAH
PEKANBARU
2013/2014
A. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992
Merupakan UU
yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan
profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak
pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk
keperawatan.
Beberapa
pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan
UU Praktik Keperawatan Profesional adalah :
1. Pasal
53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak
pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
2. Pasal
50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau
melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya
3. Pasal
53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga
kesehatan.
B. PP No. 32 tahun 1996, tentang TENAGA KESEHATAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Tenaga Kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan;
2. Sarana kesehatan adalah tempat
yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan;
3. Upaya kesehatan adalah setiap
kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh
Pemerintah dan/ atau masyarakat;
4. Menteri adalah Menteri yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan.
BAB II JENIS TENAGA KESEHATAN
Pasal 2
(1) Tenaga kesehatan terdiri dari
:
a. tenaga medis;
b. tenaga keperawatan;
c. tenaga kefarmasian;
d. tenaga kesehatan masyarakat;
e. tenaga gizi;
f. tenaga keterapian fisik;
g. tenaga keteknisian medis.
(2) Tenaga medis meliputi dokter
dan dokter gigi.
(3) Tenaga keperawatan meliputi
perawat dan bidan.
(4) Tenaga kefarmasian meliputi
apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
(5) Tenaga kesehatan masyarakat
meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan,
penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
(6) Tenaga gizi meliputi
nutrisionis dan dietisien.
(7) Tenaga keterapian fisik
meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
( Tenaga keteknisian medis
meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis
kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan
perekam medis.
BAB III PERSYARATAN
Pasal 3
Tenaga
kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang
dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.
Pasal 4
(1) Tenaga kesehatan hanya dapat
melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang bersangkutan memiliki
ijin dari Menteri.
(2) Dikecualikan dari pemilikan
ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi tenaga kesehatan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai perijinan sebagaimana di-maksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 5
(1) Selain ijin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan tenaga kefarmasian lulusan
dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya dapat melakukan upaya kesehatan
setelah yang bersangkutan melakukan adaptasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
BAB IV PERENCANAAN, PENGADAAN DAN
PENEMPATAN
Bagian Kesatu
Perencanaan
Pasal 6
(1) Pengadaan dan penempatan
tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang
merata bagi seluruh masyarakat.
(2) Pengadaan dan penempatan
tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan nasional tenaga
kesehatan.
(3) Perencanaan nasional tenaga
kesehatan disusun dengan memper-hatikan faktor :
a. jenis pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan oleh masyarakat;
b. sarana kesehatan;
c. jenis dan jumlah tenaga
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan.
(4) Perencanaan nasional tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh
Menteri.
Bagian Kedua Pengadaan
Pasal 7
Pengadaan tenaga kesehatan
dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan.
Pasal 8
(1) Pendidikan di bidang
kesehatan dilaksanakan di lembaga pen-didikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah atau masyarakat.
(2) Penyelenggaraan pendidikan di
bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
ijin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9
(1) Pelatihan di bidang kesehatan
diarahkan untuk meningkatkan keterampilan atau penguasaan pengetahuan di bidang
teknis kesehatan.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan
dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jenis tenaga kesehatan yang
bersangkutan.
Pasal 10
(1) Setiap tenaga kesehatan
memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan di bidang kesehatan
sesuai dengan bidang tugasnya .
(2) Penyelenggara dan/atau
pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas pemberian kesempatan kepada
tenaga kesehatan yang ditempatkan dan/atau bekerja pada sarana kesehatan yang
ber-sangkutan untuk meningkatkan keterampilan atau pengetahuan melalui pelatihan
di bidang kesehatan.
Pasal 11
(1) Pelatihan di bidang kesehatan
dilaksanakan di balai pelatihan tenaga kesehatan atau tempat pelatihan lainnya.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan
dapat diselenggarakan oleh Peme-rintah dan/atau masyarakat.
Pasal 12
(1) Pelatihan di bidang kesehatan
yang diselenggarakan oleh Peme-rintah dilaksanakan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan
yang diselenggarakan oleh masyarakat dilaksanakan atas dasar ijin Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai perijinan sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 13
(1) Pelatihan di bidang kesehatan
wajib memenuhi persyaratan tersedianya :
a. calon peserta pelatihan;
b. tenaga kepelatihan;
c. kurikulum;
d. sumber dana yang tetap untuk
menjamin kelangsungan penyelenggaraan pelatihan;
e. sarana dan prasarana.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai persyaratan pelatihan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 14
(1) Menteri dapat menghentikan
pelatihan apabila pelaksanaan pelatihan di bidang kesehatan yang
diselenggarakan oleh masyarakat ternyata :
a. tidak sesuai dengan arah
pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
(2) Penghentian pelatihan karena
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengakibatkan dicabutnya
ijin pelatihan.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai penghentian pelatihan dan pencabutan ijin pelatihan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Bagian Ketiga Penempatan
Pasal 15
(1) Dalam rangka pemerataan
pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, Pemerintah dapat mewajibkan tenaga
kesehatan untuk ditempatkan pada sarana kesehatan tertentu untuk jangka waktu
tertentu.
(2) Penempatan tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara masa bakti.
(3) Pelaksanaan penempatan tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
Penempatan tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh dan
menjadi tanggung jawab Menteri.
Pasal 17
Penempatan tenaga kesehatan
dengan cara masa bakti dilaksanakan dengan memperhatikan :
a. kondisi wilayah dimana tenaga
kesehatan yang bersangkutan ditempatkan;
b. lamanya penempatan;
c. jenis pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan oleh masyarakat;
d. prioritas sarana kesehatan.
Pasal 18
(1) Penempatan tenaga kesehatan
dengan cara masa bakti dilaksanakan pada :
a. sarana kesehatan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah;
b. sarana kesehatan yang
diselenggarakan oleh masyarakat yang ditunjuk oleh Pemerintah;
c. lingkungan perguruan tinggi
sebagai staf pengajar;
d. lingkungan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia.
(2) Pelaksanaan ketentuan huruf c
dan huruf d sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri setelah mendengar pertimbangan dari pimpinan instansi terkait.
Pasal 19
(1) Tenaga kesehatan yang telah
melaksanakan masa bakti diberikan surat keterangan dari Menteri.
(2) Surat keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) merupakan persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk
memperoleh ijin menyelenggarakan upaya kesehatan pada sarana kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pemberian surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
oleh Menteri.
Pasal 20
Status tenaga kesehatan dalam
penempatan tenaga kesehatan dapat berupa :
a. pegawai negeri; atau
b. pegawai tidak tetap.
BAB V STANDAR PROFESI DAN
PERLINDUNGAN HUKUM
Bagian Kesatu
Standar Profesi
Pasal 21
(1) Setiap tenaga kesehatan dalam
melakukan tugasnya ber-kewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga
kesehatan.
(2) Standar profesi tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 22
(1) Bagi tenaga kesehatan jenis
tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk :
a. menghormati hak pasien;
b. menjaga kerahasiaan identitas
dan data kesehatan pribadi pasien;
c. memberikan informasi yang
berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan;
d meminta persetujuan terhadap
tindakan yang akan dilakukan;
e. membuat dan memelihara rekam
medis.
(2) Pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 23
(1) Pasien berhak atas ganti rugi
apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat
atau kematian yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian.
(2) Ganti rugi sebagaimana
dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bagian Kedua Perlindungan Hukum
Pasal 24
(1) Perlindungan hukum diberikan
kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi
tenaga kesehatan.
(2) Pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB VI PENGHARGAAN
Pasal 25
(1) Kepada tenaga kesehatan yang
bertugas pada sarana kesehatan atas dasar prestasi kerja, pengabdian,
kesetiaan, berjasa pada negara atau meninggal dunia dalam melaksanakan tugas
diberikan penghargaan.
(2) Penghargaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(3) Bentuk penghargaan dapat
berupa kenaikan pangkat, tanda jasa, uang atau bentuk lain.
BAB VII IKATAN PROFESI
Pasal 26
(1) Tenaga kesehatan dapat
membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau
mengembangkan penge-tahuan dan keterampilan, martabat dan kesejahteraan tenaga
kesehatan.
(2) Pembentukan ikatan profesi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII TENAGA KESEHATAN WARGA
NEGARA ASING
Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan warga negara
asing hanya dapat melakukan upaya kesehatan atas dasar ijin dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai perijinan sebagaimana di-maksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri
dengan memperhati-kan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang tenaga kerja asing.
BAB IX PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 28
(1) Pembinaan tenaga kesehatan
diarahkan untuk meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan melalui pembinaan karier, disiplin dan teknis profesi
tenaga kesehatan.
Pasal 29
(1) Pembinaan karier tenaga
kesehatan meliputi kenaikan pangkat, jabatan dan pemberian penghargaan.
(2) Pembinaan karier tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 30
(1) Pembinaan disiplin tenaga
kesehatan menjadi tanggung jawab penyelenggara dan/atau pimpinan sarana
kesehatan yang bersangkutan.
(2) Pembinaan disiplin tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 31
(1) Menteri melakukan pembinaan
teknis profesi tenaga kesehatan.
(2) Pembinaan teknis profesi
tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. bimbingan;
b. pelatihan di bidang kesehatan;
c. penetapan standar profesi
tenaga kesehatan.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 32
Menteri melakukan pengawasan
terhadap tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya.
Pasal 33
(1) Dalam rangka pengawasan,
Menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang
bersangkutan.
(2) Tindakan disiplin sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. teguran;
b. pencabutan ijin untuk
melakukan upaya kesehatan.
(3) Pengambilan tindakan disiplin
terhadap tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB X KETENTUAN PIDANA
Pasal 34
Barangsiapa dengan sengaja
menyelenggarakan pelatihan di bidang kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 84
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Pasal 35
Berdasarkan ketentuan Pasal 86
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, barangsiapa dengan sengaja
:
a. melakukan upaya kesehatan
tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
b. melakukan upaya kesehatan
tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
c. melakukan upaya kesehatan
tidak sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
d. tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
dipidana denda paling banyak Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Dengan berlakunya Peraturan
Pemerintah ini, maka semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan tenaga kesehatan yang telah ada masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 37
Peraturan Pemerintah ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
C.UU No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang
dimaksud dengan :
1. Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.
2. Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku
usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
4. Barang
adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun
tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen.
5. Jasa
adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan
bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen.
6. Promosi
adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau
jasa untuk menarik minat beli konsumen
terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
7.Impor barang adalah kegiatan
memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
8. Impor jasa adalah kegiatan
penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.
9.Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai
kegiatan menangani perlindungan konsumen.
10.Klausula Baku adalah setiap
aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumeNdan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
11.Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan
sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen.
12. Badan Perlindungan Konsumen
Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya
pengembangan perlindungan
konsumen.
13. Menteri adalah menteri yang
ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
UU
Perlindungan Konsumen Pasal 18 Ayat (1)
UU Perlindungan Konsumen :
Pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung
jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau
jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa
dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian
atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku
usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen
yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen
kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau
pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen
memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai,
atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Dalam
penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan
tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu “Larangan ini dimaksudkan
untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan
prinsip kebebasan berkontrak” sehingga diharapkan dengan adanya Pasal 18 ayat
(1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan konsumen dari
kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam di dalam kontrak dengan pelaku
usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen.
Pasal 18 ayat
1 UU Perlindungan Konsumen membatasi pelaku usaha dalam pencantuman klausula
baku yang mengarah kepada klausula eksonerasi. Artinya, klausula baku adalah
klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh
mengarah pada klausula eksonerasi. Dimana butir pasal 18 ayat (1) butir a s.d h
merupakan klausula eksenorasi dalam perjanjian standar antara produsen dan
konsumen yaitu pembatasan dan penghapusan tanggung jawab dalam hal :
a. pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha;
b. penolakan penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
c. penolakan penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. pemberian kuasa dari konsumen
kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran;
e. pengaturan pembuktian atas
hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. pengurangan manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. penundukan konsumen kepada
peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya;
h. pemberian kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan
Konsumen :
Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dinyatakan batal demi hukum.
Pasal 18 ayat
(3) UU Perlindungan Konsumen mengatur mengenai sifat dari batal demi hukumnya
perjanjian standar antara produsen dan konsumen apabila dalam perjanjian
standar tersebut tercantum mengenai klausula eksonerasi pada ayat (1) butir a
s.d h. Sifat dari batalnya hukum perjanjian standar ini tidak berlangsung
secara otomatis. Pasal 1266 jo 1267 KUHPerdata mengutarakan bahwa pembatalan
suatu perjanjian melalui pengadilan dan memiliki kekuatan hukum dalam putusan
hakim. Batal demi hukumnya suatu perjanjian merupakan pelanggaran terhadap
pasal 1320 KUHPerdata dalam hal syarat objektif dari suatu perjanjian. Akibat
dari batal demi hukum suatu perjanjian adalah pembatalan perjanjian secara
deklaratif yang berarti pembatalan seluruh isi pasal perjanjian. Jadi ketika
perjanjian standar memuat klausula eksenorasi, dan diajukan gugatan ke
pengadilan, hakim memutuskan untuk membatalkan demi hukum perjanjian, maka
perjanjian menjadi batal seluruhnya (bukan hanya klausula bakunya)
D. Keputusan Menteri kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat
(sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000)
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 :
Dalam Keputusan Menteri ini yang
dimaksud dengan:
a. Perawat adalah orang yang telah lulus
pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut
SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan
keperawatan di seluruh Indonesia.
c. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK
adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh
wilayah Indonesia.
d. Ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal
359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan pasal 340 KUHP. Salah satu
contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat (4) Undang-Undang
No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai
pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu
keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenakan
sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23
tahun 1992 tentang Kesehatan :
“barang siapa yang tanpa keahlian
dan kewenagan dengan sengaja: melakukan pengobatan dan atau peraywatan
sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah)” perorangan/berkelompok.
e. Standar Profesi adalah pedoman yang
harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik.
BAB III Perizinan, Pasal 8:
a. Perawat dapat melaksanakan praktek
keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan, praktek perorangan/atau
berkelompok.
b. Perawat yang melaksanakan praktek
keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK.
c. Perawat yang melakukan praktek
perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP.
Pasal 9 Ayat 1
SIK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota setempat.
Pasal 10
SIK hanya berlaku pada 1 (satu)
sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 12
(1).SIPP sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
4. Surat Ijin Praktek Perawat
selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan perawat untuk
menjalankan praktek perawat
(2).SIPP hanya diberikan kepada
perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki
pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi.
Pasal 13
Rekomendasi untuk mendapatkan SIK
dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan
bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan
melakukan praktek keperawatan.
Pasal 15
Perawat dalam melaksanakan
praktek keperawatan berwenang untuk :
a. melaksanakan asuhan
keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan,
melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
b. Tindakan keperawatan sebagaimana
dimaksud pada butir a meliputi : intervensi keperawatan, observasi keperawatan,
pendidikan dan konseling kesehatan.
c. Dalam melaksanakan asuhan
keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standar
asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi.
d. Pelayanan tindakan medik hanya
dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter (garis bawah saya).
Pengecualian pasal 15 adalah
pasal 20;
(1). Dalam keadaan darurat yang
mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan
kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2). Pelayanan dalam keadaan
darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
Pasal 21
(1).Perawat yang menjalankan
praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang prakteknya. (garis bawah
saya).
(2).Perawat yang menjalankan
praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek (garis bawah
saya).
Pasal 31
(1). Perawat yang telah
mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang :
a. menjalankan praktek selain
ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut.
b. melakukan perbuatan
bertentangan dengan standar profesi.
(2). Bagi perawat yang memberikan
pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil
yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) butir a.
Di dalam praktik apabila terjadi
pelanggaraan praktik keperawatan, aparat penegak hukum lebih cenderung
menggunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
E. PERMENKES RI NO
HK.02.02/MENKES/148/I/2010 TENTANG IJIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PERAWAT
KETENTUAN UMUM
PERAWAT Seseorang yang telah lulus Pendidikan Perawat
baik dalam negeri maupun luar negeri sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku
Fasilitas pelayanan kesehatan
tempat yang digunakan untuk pelayanan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif
SIPP adalah bukti tertulis yg
diberikan Perawat untuk melakukan praktik keperawatan secara individu dan atau
kelompok
Standart adalah pedoman yang
harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi terdiri dari
Standart Pelyanan, Standart Profesi , Standart prosedur Operasional
STR adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh Pemerintah kepada tenaga kesehatan yg telah memiliki sertifikat
kompetensi sesuai peraturan perundangan yg berlaku
Obat bebas adalah obat yg berlogo
bulatan berwarna hijau adalah tanpa
resep dokter
Obat bebas terbatas obat yg
belogo bulatan berwarna biru adalah diperoleh dengan resep dokter
PPNI adalah organisasi Perawat di
Indonesia
PERIZINAN PRAKTIK PERAWAT
Fasilitas pelayanan
kesehatan seperti Pusk, RS, Klinik , dls
Fasilitas Kesehatan Mandiri seperti SIPP
Praktik Mandiri minimal DIPLOMA III Keperawatan
SIPP di kecualikan bagi yg
bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan maka
STR WAJIB
SIPP dikeluarkan oleh Dinkes
Kabupaten
STR di keluarkan oleh MTKP
SIPP berlaku sepanjang STR masih
berlaku
PERSYARATAN SIPP
1. Mengajukan kepada Ka. Dinkes dengan
melapmpirkan :
2. Foto copy STR yg masih berlaku
3. Surat keterangan sehat dari dokter yg
memilki SIP
4. Surat pernyataan memiliki tempat praktik
5. Foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 lembar
6. Rekomendasi organisasi profesi
7. Perawat yg memilki SIPP wajib memasang
papan nama
SIPP TIDAK BERLAKU APABILA
Tempat Praktik tidak sesuai
dengan SIPP
Masa berlaku habis dan tidak
diperpanjang
Dicabut atas rekomendasi organisasi
profesi
Dicabut atas perintah
pengadilan
Yang bersangkutan meninggal dunia
PENYELENGGARAAN PRAKTIK
KEPERAWATAN
Dilaksanakan pada fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama, ke dua, dan ke tiga
Di tujukan pada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat
Kegiatan yang dilakukan : ASKEP,
Pelayanan Kesehatan (Promotif, Preventif , Pemulihan dan Pemberdayaan
Masyarakat ) dan pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer
ASUHAN KEPERAWATAN MELIPUTI
Pengkajian, Penetapan Diagnosa,
Perencanaan, Implementasi, dan Evaluasi Keperawatan
Tindakan Keperawatan meliputi :
pelaksanaan prosedur Keperawatan, Observasi keperawatan dan pendidikan dan
konseling Kesehatan
Perawat dalam menjalankan ASKEP
dapat memberikan obat bebas dan atau bebas terbatas
Pasal 9 : Perawat dalam melakukan
praktik keperawatan harus sesuai dengan kewenangan yang di milki
Pasal 10 : Ayat (1) Dalam keadaan
darurat untuk penyelamatan nyawa pasien /seseorang dan tidak ada dokter di tempat
kejadian maka dapat melakukan tindakan di luar kewenangan
Ayat (2) bagi perawat yg
menjalankan praktik perawat dan tidak ada dokter maka dapat melakukan pelayanan di luar
kewenangan
Ayat (3). Mempertimbangkan
Kompetensi, tingkat kedaruratan dan keumungkinan untuk dirujuk
Daerah yg tidak ada dokter
ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Bila ada dokter maka kewenangan
diluar kewenangan perawat dinyatakan gugur
HAK PERAWAT DALAM MENJALANKAN
PRAKTIK PERAWAT
Perlindungan Hukum
Informasi yg lengkap dan jujur
dari klien / pasien dan atau keluarga
Melaksanakan tugas sesuai
kompetensi
Memperoleh imbalan jasa profesi
Memperoleh jaminan perlindungan
terhadap resiko kerja yg berkaitan dengan tugasnya
KEWAJIBAN PERAWAT DALAM
MENJALANKAN PRAKTIK KEPERAWATAN
Menghormati hak pasien
Melakukan rujukan kasus
Menyimpan rahasia sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku
Memberikan informasi tentang
masalah kesehatan pasien/klien yg dibutuhkan
Meminta persetujuan pasien untuk
tindakan perawatan
Melakukan pencatatan keperawatan
Mematuhi standart keperawatan
Pasal 12 ( ayat 2 ) Perawat dalam
menjalankan praktik keperawatan senantiasa meningkatkan mutu pelayanan
pelayanan profesi ( Pendidikan berkelanjutan keperawatan )
Ayat (3) Membantu program Pemerintah
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pemerintah dan organisasi profesi
Diarahkan untuk
meningkatk mutu pelayanan, keselamatan pasien dan perlindungan terhadap
masyarakat
Pasal 14 (ayat 1) pemerintah
dapat memberikan tindakan administratif
Tindakan administratif dimaksud
antara lain : Teguran lisan, teguran tertulis, pencabutan SIPP
KETENTUAN PENUTUP
Permenkes Nomor : HK.02.02 /
Menkes / 148 / I / 2010 berlaku sejak ditetapkan
Kepmenkes RI Nomor : 1239 /
Menkes / SK / IV/ 2001 tentang registrasi dan praktik perawat dinyatakan tidak
berlaku lagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar